Tuhan yang Bisa Aku Lihat
Jauh sebelum aku ada, dua orang ini adalah individu-individu yang punya muatan ceritanya masing-masing. Cerita-cerita yang aku dapati tidak langsung dalam satu waktu, cerita yang dicicil-cicil, dan terakumulasi dari ayah dan mama ceritakan kepadaku dari kecil sampai umur 23 tahun.
Cerita perihal kejadian masa lampau, tentang masa kecil mereka, dan tentang hal-hal diantaranya yang secara sengaja diceritakan atau pun melalui potret-potret yang tersimpan dalam foto album yang masing tersimpan sampai saat ini. Potret-potret di album ini lengkap dari ayah dan mama pacaran, lamaran, menikah, punya anak sampai TK. Kami suka membuka-buka lagi ketika akhir pekan, rasanya menyenangkan sekali karena kami bisa berwisata masa lalu bersama walau hanya dirumah saja.
Mama, satu dari kembar tiga yang lahir pada Januari 1969 di Pekanbaru. Lahir dengan tunjangan perusahaan kakek bekerja saat itu. Tiap lima menit sekali nenek melahirkan satu anak dan tibalah mama lahir di lima menit ketiga untuk pertama kalinya ke dunia.
Mama pernah bercerita tentang hari kelahirannya kala itu. Mama bilang saat itu jarang sekali ada bayi yang lahir kembar tiga identik dan dokter yang saat itu menangani persalinan nenek berkewarganegaraan Amerika karena memang kakek bekerja di perusahaan kontraktor Amerika sebagai penerjemah, jembatan antara Bos dari Amerika ke pekerja di Kalimantan.
Saat semua bayi sudah dibersihkan, di bedong, dan berada di dalam kasurnya. Dokter asal Amerika tadi bertanya kepada kakek dan nenek apakah ia boleh mengadopsi satu diantara ketiganya. Yang mana saja ujarnya. Sontak kakek dan nenek kaget dan dengan terang-terangan menolaknya.
Dokter itu pun paham dan beliau bercerita mengapa ia ingin juga memiliki anak. Jadi singkat cerita, Dokter itu sudah menikah dan tidak kunjung mendapatkan anak. Saat itu kelahiran kembar tiga sangatlah jarang dan ia berkeinginan untuk memiliki satu diantaranya dan lantas bertanya, mungkin saja di bolehkan oleh kakek atau nenek. Namun setelah mendengar cerita sedih itu, Kakek nenek tetap tidak merubah keputusannya dan berusaha menghibur Dokter yang tampak berkaca-kaca. Dokter laki-laki itu pun paham dan melihat lagi tiga bayi kembar di hadapannya dengan hati yang lapang.
Cerita kelahiran bayi kembar tiga tidak sampai disitu saja. Mama dan dua kembarannya tadi juga mendapat beberapa privilese diantaranya susu formula gratis selama dua tahun dan masuk koran lokal perusahaan Amerika saat itu. Karena keunikannya lahir kembar tiga membuat semua orang gemes sekaligus haru. Lahirnya Tri, Srikandi, dan Sakti menjadi kebahagiaan bagi kakek, nenek, dan keluarga besar saat itu.
Masa kecil mama dilalui beberapa tahun di Pekanbaru dan sekitar awal Sekolah Dasar pindah ke kampung, tepatnya di Batusangkar, Sumatera Barat. Sejak kecil hidup ibu lumayan cukup berada karena kakek punya pekerjaan yang cukup menghasilkan.
Pada saat SD mama pernah pergi ke Kota Padang dan lalu ikut kakek dan nenek untuk beli emas. Saat itu membeli emas balok seberat 0,5 kg. Gokil dan banyak banget. Emas semahal itu di taro di tas ransel yang mama gunakan setiap berpergian dan lalu menggendongnya dengan seolah tidak terjadi sesuatu yang aneh, semua terlihat biasa saja.
Mama hidup bersama orang tua, nenek, adik-adik nenek, dan 10 saudara lainnya di rumah gadang (rumah adat Sumatera Barat). Sejak itu, mamaterbiasa dengan keramaian di rumah ataupun di luar rumah.
Masa kecil mama mungkin sampai SMA memang lumayan terlihat cukup berada karena kakek punya kerjaan yang sangat banyak mendulang rupiah jika kembali pulang dari proyek di Kalimantan saat itu.
Tak menjadi soal apabila saat itu kakek selalu membelikan anaknya barang-barang branded sehabis kerja di Kalimantan. Semuanya kebagian, 11 anaknya, istri, ibu kakek, dan ibu mertua bahkan keluarga dekat lainnya.
Mama pernah bercerita, saking banyaknya uang kakek, waktu kecil mama dan kembarannya tidur diatas uang. Gokil nggak tuh!.
Mama dan kembarannya selalu di belikan barang yang sama meskipun mungkin berbeda warna, tapi selalu harus serupa.
Zaman itu mungkin keluarga kakek adalah yang paling berada se Ampalu Gadang karena waktu itu rumah kakek sudah ada toilet sendiri didalam rumah, sedangnya masyarakat lainnya kalau mau mandi dan buang air harus pergi ke masjid atau ke mata air yang ada di sawah.
Kakek juga terkenal dan di hampir setiap tempat di pasar semua tahu sama sama kakek. Kakek mendapat julukan Si Japang atau Si Jepang karena kepintarannya saat itu. Kepintarannya belajar otodidak bahasa inggris hanya dengan satu buku dan sisanya adalah praktek membawanya bekerja untuk perusahaan Amerika di Kalimantan dan mengubah jalan hidup keluarganya dan sekitarnya. Sebelas anaknya bisa sarjana semua.
Tibalah di momen menyedihkan, yaitu saat kakek divonis hidup tidak lama lagi karena penyakit di organ hati yang diderita. Selepas itu ada ketakutan di keluarga dan saat itu pula kakek dan nenek langsung dengan impulsif membuat rumah disebelah rumah yang ada menggunakan puluhan tukang yang kakek punya untuk membangun rumah sebelum kakek benar-benar habis batas usianya.
Benar saja rumah besar itu jadi hanya dalam tiga bulan). Kakek dan nenek sengaja membuat rumah yang lebih layak untuk anak-anaknya sebelum kakek benar-benar pergi. Beberapa minggu setelah rumah baru jadi dan hari dimana prediksi dokter tentang akhir umur kakek tiba, semua keluarga takut dan cemas. Namun ternyata vonis itu tidak terjadi. Bisa dibilang dokter salah vonis dan akhirnya kakek bisa pulih dan hidup seperti biasa. Vonis tidak terjadi dan rumah baru bisa ditinggali adalah perayaan yang menyenangkan bukan main bagi keluarga mama waktu itu.
Ayah lahir 9 bulan setelah mama, tepatnya di bulan Oktober 1969 di Karangawen, Semarang. 12 bersaudara, 4 saudara meninggal karena sakit saat masih kecil.
Mbah Kakung (bapaknya bapak) bekerja sebagai bendahara di kelurahan dan Mbah Putri (ibunya bapak) berjualan bumbu di pasar tak jauh dari rumah. Masa kecil ayah selalu tentang petualangan. Ayah sering cerita jikalau dahulu ia dan teman-temannya pernah maling ayam tetangga dan lalu membakar ayam itu untuk dimakan bersama, namun ayah tidak ikut makan hanya menemani teman saja.
Terus ayah juga termasuk remaja masjid yang aktif di lingkungannya. Rumah selalu ramai hilir mudik warga, karena didepan rumah ada satu-satunya jembatan untuk menyeberangi irigasi yang air nya bening saat itu. Irigasi yang cukup lebar itu masih banyak orang-orang yang mencuci pakaian atau bahkan mandi dan tentu saja anak-anak selalu suka berenang. Ayah pernah menggunakan batang pisang sebagai perahu dan lalu naik ke atasnya, batang pisang itu melaju mengikuti arus dari depan rumah sampai ke pasar yang lumayan jauh. Betapa serunya masa lalu kenang ayah.
Kehidupan ayah saat masa sekolah juga tidak kalah serunya. Saat SMP dia pernah jadi petugas pembaca UUD 1945 dan saat gilirannya tiba — semua mata tertuju kepadanya — suara ayah tidak keluar. Sama sekali tidak keluar, tepatnya tidak bisa keluar. Benar-benar kayak orang gagap. Beliau harus ditarik mundur dan digantikan dengan teman di sebelahn dan itu malunya bukan main, bahkan mungkin sampai hari ini.
Itu menjadi hal tidak terlupakan juga untuk semua orang yang ikut upacara pada saat itu. Terus ayah juga pernah di rundung sama temannya karena rambutnya yang berdiri-berdiri dan tajam keatas layaknya sapu ijuk yang terbalik. Terus temannya menambahkan,
“Yaelah rambut kok gitu sih, rambut kayak gitu kalo ‘hujan tahu’ pasti tahunya bakal ketusuk-tusuk di rambutmu yang berdiri-diri kayak gitu, hahahaha” (kurang lebih seperti itu namun dengan bahasa jawa)
Ayah tersinggung bukan kepalang. Karena sudah berkali-kali di rundung seperti itu, kesabaran ayah tiba pada titik puncaknya. Kesoknya harinya ayah mebawa ‘tahu’ asli dari pasar ibu nya dan lalu langsung mempraktekkan apa yang dikatakan temannya itu langsung di hadapannya.
Ayah melempar ‘tahu’ dan menyambut dengan kepalanya. Hasilnya tidak ada tahu yang tertusuk di rambutnya. Semuanya jatuh ke tanah. Teori temannya itu memang hanya asumsi yang langsung terpatahkan detik itu juga.
“Nih kan yang kamu maksud. Nih coba aku praktekkan. Tuh kan nggak ada yang ketusuk dan nyangkut. Jadi jangan pernah ngatain aku yang nggak-nggak lagi” kata ayah marah dan tentu dengan bahasa jawa pula.
Sejak saat itu dia tidak pernah di rundung sebagai rambut berdiri-berdiri nan tajam lagi, namun kejadian UUD 1945 waktu itu tidak pernah terlupakan di lingkungan SMP nya saat itu sampai saat ini. Tidak di rundung karena rambut yang berdiri-berdiri tajam tapi selalu diingat sebagai anak yang gagap membacakan UUD 1945.
Naik ke tingkat selanjutnya, ayah melanjutkan ke SMK 1 di Simpang Lima Semarang. Ayah selalu pergi subuh dengan sepeda ontelnya. Jarak rumah ke sekolah 40 km, pulang pergi 80 km. Setiap hari sepanjang 4 tahun lamanya. Pergi dengan baju kaos dan lalu setelah sampai ke sekolah ganti dengan baju seragam. Pulang selalu sore dan langsung tidak menuju rumah, melainkan pergi ke pasar untuk membantu ibunya yang berjualan di pasar. Tak jarang ayah juga ikut membantu berjualan, disela-selanya ayah belajar dengan membaca buku atau mengerjakan PR sekolah sambil menunggu warung ibunya tutup.
Ayah bertekad tidak mau mengikuti mbah kakung menjadi PNS. Ayah mau keluar pulau untuk cari tantangan. Bukan berarti hidup jadi PNS mengecewakan, namun mbak kakung selalu berpesan bahwa menjadi PNS itu adalah pengabdian. Terbukti dengan hidupnya yang sederhana meskipun menjadi bendahara desa.
“Jadi PNS itu pengabdian, bukan untuk cari kekayaan”
Ayah pernah bercerita tentang mbah kakung selalu menekankan kejujuran di dalam keluarganya, meskipun mungkin dia bisa berlaku curang di pekerjaannya seperti kawan-kawan lainnya yang hidupnya lebih makmur, namun mbah kakung tidak memilih jalan itu. Waktu ditawari kredit motor pada zaman itupun keluarga dan anak-anaknya sudah membujuk-bujuk mbah kakung untuk mengambilnya, tapi mbah kakung tidak mau. Beliau masih setia kepada ontelnya.
Maka dari itu ayah mendaftar ke Adhi Karya di Sumatera sebelum pengumuman kelulusan tiba. Hingga tibalah saatnya kelulusan dan disaat yang bersamaan ayah dan dua orang lainnya diterima untuk bekerja di Adhi Karya tepatnya di Kota Padang, Sumatera Barat.
Momen itu, tidak langsung diamini oleh mbah putri karena akan terlalu jauh pergi meninggalkan keluarga. Namun akhir nya mbah putri mengerti juga akan alasan anaknya untuk berpetualang dan semua keluarga menerima keputusan yang dipilih oleh ayah. Sebelum pergi mbah putri memberi ayah sangu/uang tabungannya di celengan agar bisa sampai ke Padang dan hidup beberapa bulan. Di situ momen haru ayah dan keluarga pecah ruah. Namun disitu pulalah awal dari hal-hal menyenangkan lainnya tumbuh merekah.
Pergi ke Sumatera tahun 90 an bukan perkara mudah dan seenak seperti sekarang. Moda transportasi dan jalanan belum senyaman saat ini. Namun itu tidak jadi masalah dan dinikmati saja segala yang sudah diatur sama perjalanan.
Tibalah di Padang dan mulai bekerja. Ayah selalu berkabar ke keluarga di kampung dengan surat dan sudah bisa mengirim uang ke kampung untuk adik-adiknya berkat gajinya selama bekerja melalui kantor pos.
Karena sering bertukar surat, tulisan ayah paling bagus di keluarga kami. Hidup di perantauan membuatnya semakin mandiri. Tidak ada lagi ibu yang memasak sarapan, makan siang, dan makan malam seenak buatan ibunya di kampung. Ayah sudah mulai terbiasa dengan masakan padang yang didominasi oleh santan, pedas, dan teman-temannya.
Beberapa tahun setelah itu ayah berkenalan dengan mama. Mungkin sudah lama tahu tapi tidak pernah menyadari.
Mama adalah anak kuliahan yang ngekos di depan rumah mess proyek ayah. Mama ngekos di satu rumah yang punya beberapa kamar bersama kakak, sepupu, dan saudara kembarnya saat kuliah di Kota Padang. Mungkin karena tempat tinggalnya berhadap-hadapan, ayah dan kawan-kawannya suka menegur mama dan yang lainnya. Berawal dari teguran sapaan basa-basi kultur biasa, hingga tibalah saatnya ayah dan kawan-kawannya sering main ke kosan mama untuk hanya sekedar ngobrol-ngobrol biasa. Tanpa maksud apapun, hanya untuk menambah teman akamsi (anak kampung sini) tidak ada salahnya menurut ayah saat itu.
Hingga tiba pada momen, mama dan saudaranya harus pindah ke kosan baru.
Mama pernah bilang, malam sebelum pindah. Ayah mematikan lampu kamarnya dan menghidupkan musik yang sendu agak besar pakai speaker sampai terdengar di kosan mama sebelum esok harinya benar-benar pindah. Mama melihat ke kamar ayah yang gelap itu namun ada lagu yang mengutarakan kesedihan melalui liriknya itu dengan kebingungan. Hahaha cupu banget ayah disini kalo dipikir-pikir.
Ayah memberanikan diri membantu pindahan. Hari itu mungkin jadi harinya ayah dan mama ngobrol berdua dengan tanpa yang lainnya. Jadi saat pindahan ke kosan yang baru, tidak terlalu jauh dari kosan lama, mama jadi kloter terakhir dihari itu yang lagi beres-bereskan barang bawaannya untuk dipindahkan ke kosan baru.
Ayah lewat di depan kosannya dan bertanya mama sedang apa. Mama bilang kalau ia akan pindah ke kosan yang baru dan ayah ingin modus ingin membantu supaya tahu alamat kosan mama yang baru. Biar masih bisa main lagi kesana. Mereka berdua jalan kaki sambil membawa barang-barang terakhir yang harus diangkut ke tempat baru. Mungkin dari situ benih-benih muncul, aku juga tidak tahu hahaha. Aku masih di surga saat itu.
Pertama kali ayah dan mama jalan berdua adalah saat bapak ingin traktir anak kosan durian. Buah yang sangat otentik, Tapi ayah tidak mungkin pergi sendirian karena tidak bisa menawar dan harus ada satu orang yang biasa berbahasa minang menemaninya, semua menunjuk dan menatap ke arah mama.
Pada hari itu ayah dan mama jalan berdua untuk kedua kalinya. Setelah-setelahnya mungkin hari-hari mereka jadi lebih indah dan berwarna. Mungkin mereka memulai hubungan atau seperti apa aku juga tidak tahu. Yang aku tahu selepas itu mereka jadi lebih sering jalan berdua dan saling berkirim surat. Bahkan surat-surat jaman pacaran waktu itu disatukan dalam sebuah folder. Tersusun rapi walaupun kertasnya sudah menguning. Kami anak-anaknya tidak boleh membuka bahkan membacanya sampai saat ini.
Pernah masa-masa masih kelas 5 SD, aku dan Kak Annis memaksa mengambil folder dan berusaha membacanya dan lalu mama dengan cepat mengambilnya dan merebutnya karena dia malu kalo surat-surat cintanya dibaca oleh orang lain hahahaha, termasuk oleh anak kandungnya sendiri.
Aku dan kakakku saat itu cuma bisa ketawa dan mengatur siasat selanjutnya untuk mengambil lagi folder itu. Tapi sampai sekarang tidak pernah kejadian lagi, mungkin ayah dan mamasudah simpan di tempat yang sangat rahasia, kami juga tidak tahu bahkan sampai detik ini.
Setelah itu berlanjut ke ayah yang melamar mama dengan nekat. Bukan perjalanan mudah untuk menaklukkan hati keluarga mama.
Kakek itu terkenal sebagai orang yang disegani dan galak. Tidak ada yang berani termasuk pacar-pacar anaknya untuk bertemu dengan kakek, bahkan mantan-mantan mama sebelumnya. Namun saat itu ayah mencoba nekat yang terukur untuk ketemu kakek dengan membawa teman kantornya yang bisa berbahasa minang.
Maklum ayah berasal dari Pulau Jawa dan belum mengerti betul untuk meminang anak orang dengan adat minang. Jadilah ayah menyiapkan segalanya untuk pergi melamar mama langsung ke rumahnya di Batusangkar. Bertemu bos besar, yaitu kakek. Agenda sudah disiapkan, pertemuan beberapa hari lagi akan berlangsung.
Dihari H, sore hari ayah jalan dari mess kantornya di Kota Padang menuju Batusangkar bersama beberapa orang teman Jawa dan satu teman orang Padang yang bisa bahasa minang. Perjalanan sekitar tiga jam lamanya. Semua dibelikan baju batik kerah lengan panjang yang agar terlihat seragam dan niat.
Setelah semua siap berangkat, tapi masih ada satu hal fundamental yang tidak terlihat batang hidungnya, yaitu orang yang bisa bahasa minang masih juga belum datang juga. Beberapa menit berlalu dan dia tidak benar-benar datang. Senjata pamungkas ayah untuk meminang anak orang hilang tanpa kabar. Ayah dan yang lain memutuskan tancap gas saja, pergi tanpa orang itu. Sudah nekat ingin meminang anak yang bapaknya galak, ditambah bapak tidak berhasil membawa orang yang bisa bahasa minang itu. Nekatnya jadi benar-benar nekat. Sungguh momen itu cukup menegangkan untuk ayah karena kemampuannya berbahasa minang tidak begitu fasih dan kalo di hitung-hitung dia juga rugi satu baju batik kerah lengan panjang.
Beberapa kilometer sebelum sampai, kampung mama mati lampu. Keadaan jalan jadi benar-benar gelap. Kanan kiri sawah dan sepi membuat mobil ayah dan kawan-kawannya tersesat. Setelah muter-muter cukup lama, ayah bertemu karyawannya yang ternyata melihat mobil kebingungan. Beruntungnya karyawan yang ternyata dari sebelah kampung ibu menunjukkan jalan yang benar.
Setibanya di rumah Mama. Ayah dan temannya terkejut. Anjir kok seramai ini. Maklum saja,mama itu 11 bersaudara, belum lagi om dan tantenya pada datang semua dan masih banyak lagi. Acara lamaran kali ini jadi momen penasarannya keluarga mama. Kok berani-beraninya ada orang Jawa melamar salah satu anggota keluarganya. Mungkin momen itu seru untuk disaksikan. Ayah dan kawan-kawannya seperti pemain tandang yang tidak bawa suporter karena jauh kalah jumlah.
Setelah duduk di kursi tamu yang hanya diterangi oleh lampu petromaks, ayah agak getar karena seolah-olah semua mata tertuju padanya. Namun ada untungnya keadaan mati lampu saat itu. Keringat dingin ayah tidak terlalu kentara.
Proses berjalan sebagaimana mestinya. Ayah meminta izin ke kakek untuk melamar salah satu anak kembarnya, yang bernama Sakti. Kakek menanyakan seluk beluk ayah dan juga keluarganya. Ayah menjawab apa adanya dan obrolan mengalir begitu saja. Kawan-kawan ayah hanya menonton obrolan, tanpa sesuatu keluar dari mulut mereka kecuali perkenalan di awal saja.
Percaya diri ayahmeningkat drastis dan bisa mengendalikan pembicaraan. Dan benar saja, kakek yang tadinya judes, angkuh, dan seram berubah cair wajahnya menjadi pertanda yang menerima lamaran tersebut. Mereka berdua saling ngobrol tentang perproyekan. Mungkin karena kakek juga sedang merintis bisnis kontraktor dan karena itu mungkin mereka nyambung.
Mama dipanggil oleh kakek. Mama datang dengan malu-malu dan proses lamaran yang sederhana tadi alhamdulillah diterima keluarga mama. Selepas memberi cincin dan memakaikannya ke jari manis mama. Obrolan berlanjut tentang hari H pernikahan dan rencana kedepannya.
Sebelum menikah ayah membawa mama ke keluarganya di Semarang untuk memperkenalkan untuk dikenalkan. Mama pergi ditemani oleh neneknya (nenek amak) untuk ke Pulau Jawa untuk pertama kalinya dengan tujuan bertemu calon mertua dan melihat dunia luar sekaligus jalan-jalan jauh yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Tibalah saatnya menikah. Hari pernikahan berlangsung di kampung Batusangkar. Ayah membawa keluarganya, mbah kakung dan mbah putri tentu saja. Acara akad nikah berlangsung di masjid depan rumah dan resepsinya tepat di depan rumah. Ayah dan mamaresmi menikah. Mama menjadi pendobrak untuk menikah bersama orang yang bukan darah minang. Menjadi contoh dan bukti bahwa suku akan selalu di bawah soal rasa dan cinta.
Selepas itu ayah dan mama pindah ke Jambi. Ayah dipindahtugaskan dan diberi kepercayaan untuk menjadi kepala pimpinan proyek disana. Mereka hidup di kosan kecil yang sudah disiapkan oleh ayah sebelum acara pernikahan tiba. Beberapa bulan setelahnya mama hamil anak pertama, yaitu kakakku bernama Annisa Rizqisari Taufiq, atau biasa kami panggil kak Annis di Juni 1996.
Beberapa bulan selepas kak Anis lahir, mama kembali mengandung. Namun belum sampai empat bulan, ibu keguguran. Beberapa bulan selanjutnya ibu mengandung aku dan lahir di bulan Juli 1998. Kehidupan di Jambi begitu menyenangkan karena kami beberapa kali pindah tempat tinggal jadi kami punya banyak teman.
Waktu aku belum genap satu tahun, ada momen hampir saja meninggal kalau tidak cepat dapat pertolongan.
Sore itu gelap karena hujan membasahi wilayah tempat tinggal kami. Aku, mama dan kak Annis yang masih kecil hanya bertiga di rumah, ayah sedang di Medan untuk urusan proyek.
Saat itu badanku panas, panas banget. Dan mama sebagai orang tua pemula tidak terlalu paham apa yang terjadi. Mama mengompres dengan air dingin dan memberi obat penurun panas. Namun panas di badanku semakin tidak masuk akal, aku masuk kedalam fase step.
Panas kalau sampai step itu sangat berbahaya karena mencapai di puncak panas tubuh yang maksimal. Waktu itu kata mama, dari mulutku keluar busa hijau, menggigil, kejang dan sudah seperti orang sekarat dan mau mati.
Mama panik kalang kabut, disatu sisi harus mengurus kakakku yang hanya terpaut dua tahun umur nya dari aku. Berteriak minta pertolongan karena saking paniknya. Di tengah hujan yang lumayan, mungkin saat itu suara mama tidak terlalu kedengeran di telinga tetangga samping rumah. Mama masih berusaha teriak-teriak meminta bantuan.
“Tolong, tolong, tolong. Tolong anak saya”
Masih tak ada yang mendengarnya. Tuhan menyelamatkanku ketika ada satu ibu-ibu, tetangga yang lewat didepan rumah. Beliau mendengar suara minta tolong mama dan langsung menuju rumah kami.
Tetangga itu meminta mama membuka pintu teralis yang masih terkunci. Mama dengan panik mencari kunci itu, agak lama karena panik tapi akhirnya ketemu. Pintu terbuka. Tetangga tadi langsung melihat keadaanku dan langsung dengan sigapnya meminta mama mengambil minyak kayu putih dan potongan bawang merah.
Mama yang masih panik tadi langsung mencari barang-barang yang diminta tentangga itu. Setelah semuanya tersedia. Tetangga tadi langsung membuka semua kain yang ada di badanku dan menaburkan bawang merah yang dicampurkan dengan minyak kayu putih ke hidung, dada, dan bagian badan lainnya.
Intinya harus bisa mencium bau-bauan yang menyengat agar kesadaran aku kembali seperti awal. Pokoknya badanku di balur oleh bau-bauan tadi.
Tuhan memang Maha Baik, beberapa saat setelah dibalur tersebut aku kembali siuman dan langsung mengucapkan kata yang paling mamaku harapkan saat itu,
“Mama….” sautku dengan nada rendah.
Seketika hati ibu dan tetangga langsung jadi penuh. Yang awalnya panik bukan main dan takut kalau anak ini bisa lewat (meninggal), akhirnya siuman setelah semua usaha dilakukan. Aku alhamdulillah sadar dan kembali hidup.
Setelah ditelisik ternyata tetangga tadi punya pengalaman menangani anak nya yang pernah demam sampai step juga. Pertolongan Tuhan melalui tangan tetangga itu dan tentu juga oleh mama, sampai saat ini aku tidak pernah menghilangkan memori itu dalam ingatan hidupku. Hari itu ayah juga langsung balik dari proyeknya di Medan, dan mungkin sangat merasa bersalah meninggalkan kami dirumah hanya bertiga saja.
Semasa kecil aku sering sakit, terutama demam, pilek dan punya gejala asma. Maka dari itu, setiap minggu kami berempat selalu berenang. Sebagai terapi untuk gejala asma yang aku derita. Alhamdulillah sejak SD, gejala asma itu sudah tidak ada lagi. Alhamdulillahnya lagi karena ketekunan ayah dam mama mengajakku berenang di hari minggu selama bertahun-tahun. Gejala asma yang aku derita hilang dan kami semua jadi bisa berenang.
Terus aku juga pernah sakit, demam step yang kedua. Gila, dua kali demam step bro. Kata dokter jangan sampai tiga kali karena nanti IQ otaknya akan jadi menurun. Gitu katanya.
Demam step kedua ini untung ada ayah dirumah jadi aku langsung dilarikan ke rumah sakit. Namun waktu itu aku ayah dan mamapakai motor. Aku ingat sekali ketika kami sampai di rumah sakit pertama ternyata dokternya tidak ada. Anjir itu momen kepanikan ayah mama yang masih aku ingat. Kami langsung pergi rumah sakit lain. Ayah dan mama sangat kesal dengan pelayanan rumah sakit yang pertama. Setibanya di rumah sakit kedua aku langsung dirawat. Dirawat untuk beberapa hari dan alhamdulillahnya lagi masih tertolong lagi.
Dimana Tuhannya?
Mungkin saja aku tidak melihatnya secara langsung. Tidak akan pernah sanggup juga lebih tepatnya. Namun Tuhan menurunkan ayah dan mamasebagai perantara tangannya. Aku melihat bagaimana mereka berdua memperjuangkan hidupku, tentu dengan segala ketidaksempurnaan mereka. Aku yakin juga sampai saat ini mereka masih belajar menjadi orang tua juga.
Namun karena mereka aku ada sampai saat ini dan tidak terbayang kalau disaat-saat kritis saat itu mereka tidak seberusaha itu, mungkin saat ini aku sudah di alam yang berbeda dan tidak pernah menuliskan cerita ini. Dari mereka secara tidak langsung aku melihat Tangan Tuhan yang membantuku dan mengangkatku dari posisi terpuruk dan terendahku. Sewaktu aku sering demam sebulan sekali, selalu ada ayah yang mendoakanku dan selalu berujar,
“Sini sakitnya kasih ke ayah aja. Biar ayah yang rasain sakitnya, kamu jangan” kata bapak sambil memelukku.
Mama selalu menggendong dan mendoakanku kalau panas badanku kelewatan dan berakibat aku jadi mengigau tak karuan. Aku sadar sebenarnya tapi ada di suatu kondisi yang sangat menakutkan bagi anak kecil dan aku nggak bisa nggak bisa melakukan apa-apa.
Ngigau itu selalu terjadi saat aku demam tinggi dan selalu ada mama di sampingku untuk menenangkan. Dari situ aku percaya ada kekuatan yang lebih besar dari apapun, lebih kuasa dari segala-galanya, yaitu Tuhan. Maka dari itu, mama dan ayah dengan semua apa yang telah diusahakannya aku selalu melihat kebaikan Tuhan datang diantaranya.
Mungkin diatas adalah secuil cerita yang terpikir di kepalaku di antara luas nya kebaikan Tuhan yang dipercayakan ke ayah mama untuk aku dan pula keluarga kami. Terimakasih sudah membaca cerita yang cukup personal ini. Aku jarang sepersonal ini untuk mengutarakan, tapi mungkin ada kebahagiaan lebih saat cerita ini aku jelaskan sekali lagi.
Memori lama itu seakan nyata dan hidup lagi dalam ingatan. Terimakasih sudah mau bertahan membacanya sampai ini dan semoga kalian juga selalu dilingkupi dengan Tangan-tangan Tuhan di sekeliling kalian.
Teruslah bercerita, karena hanya dengan itu ingatan kita jadi lebih terawat keindahannya.
11 Januari 2022